Ecological pigs and piglets at the domestic farm, Pigs at factoryFoto: Getty Images/iStockphoto/didesign021/UU Cipta Kerja Omnibus Law Singgung Sertifikasi Halal, Ini 6 Poinnya

Jakarta -

Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law yang gres disahkan dewan perwakilan rakyat menyebabkan pro dan kontra di masyarakat. Ketentuan dalam UU Cipta Kerja menyinggung banyak sekali hal salah satunya sertifikasi produk halal yang dipakai masyarakat.

Sebelumnya, Indonesia sudah memiliki UU Jaminan Produk Halal nomor 33 tahun 2014. Nah, ada beberapa poin yang mesti diamati dalam Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law terkait produk halal, misal pemahaman akta halal.

"Sertifikat Halal yakni akreditasi kehalalan sebuah Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH menurut pedoman halal," begitu salah satu ketentuan dalam Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law yang berlainan dengan UU Jaminan Produk Halal dengan tidak menambahkan MUI.

Berikut empat poin sertifikasi halal dalam Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law:

1. Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law terkait halal untuk usahawan mikro

UU Cipta Kerja memperbesar pasal 4A yang menyatakan, sertifikasi halal bagi pelaku UMKM didasarkan pada pernyataan pelaku kerja keras yang sebelumnya dilaksanakan Proses Produk Halal (PPH). Mekanisme PPH ditetapkan menurut prosedur halal yang dilaksanakan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Pelaku UMKM juga tidak perlu mengeluarkan duit sertifikasi halal.

"Dalam hal tuntutan Sertifikasi Halal sebagaimana dimaksud ayat (1) diajukan oleh Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, tidak dikenai biaya," tulis Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law pasal 44.

2. Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law meniadakan syarat auditor halal

Sebelumnya UU nomor 33 tahun 2014 ada beberapa syarat untuk auditor halal yakni wajib beragama Islam, WNI, berwawasan luas terkait kehalalan produk dan syariat agama. Auditor juga wajib berpendidikan minimal S1 bidang bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi. Dengan dihapusnya syarat ini maka potensi untuk menjadi auditor halal terbuka lebih lebar.

3. Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law terkait PPH

Sebelumnya pelaku kerja keras wajib memisahkan lokasi, tempat, dan alat yang dipakai untuk PPH sesuai UU Jaminan Produk Halal. Jika tidak melakukan hukum ini, usahawan terancam hukuman administratif berupa perayaan tertulis atau denda. Sanksi ini diubah dalam RUU Cipta menjadi cuma hukuman administratif tanpa diterangkan lebih detail.

4. Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law menyeleksi lamanya proses verifikasi halal

UU Cipta Kerja pasal 29 menyatakan, Jangka waktu verifikasi tuntutan akta halal paling usang satu hari kerja. Permohonan akta halal dilengkapi data pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar produk dan materi yang digunakan, serta proses pembuatan produk. Permohonan Sertifikat Halal diajukan usahawan terhadap BPJPH.

5. Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law terkait proses perpanjangan sertifikasi halal

Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law menertibkan khusus pelaku kerja keras yang ingin melakukan perpanjangan sertifikasi halal, tanpa merubah PPH dan komposisi. BPJPH dapat eksklusif mempublikasikan perpanjangan sertifikasi halal tanpa perlu melakukan sidang pedoman halal.

6. Undang-undang RUU Cipta Kerja Omnibus Law terkait hukuman administratif

UU Jaminan Produk Halal menertibkan jenis hukuman administratif yang diterima jikalau tidak melakukan ketentuan sertifikasi halal. Sanksi dijatuhkan sesuai pelanggaran yang dilakukan. Dalam Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law hukuman administratif tidak diterangkan lebih lanjut berikut jenis pelanggarannya.



Simak Video "Pemerintah Bakal Gratiskan Sertifikat Halal untuk UKM"
[Gambas:Video 20detik]